Buruh Minta Upah Minimum Naik 8%, Pengusaha: Tidak Realistis!

Upah BuruhKatalis.net, Jakarta — Kalangan buruh/pekerja meminta kenaikan upah minimum sebesar 8% mulai tahun depan.

Keinginan upah tersebut diharapkan bisa mendongkrak daya beli.

Tuntutan kenaikan upah tersebut dikemukakan Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal.

“Ya kami berharap minimal 8% dibandingkan tahun lalu, sehingga daya beli bisa terjaga,” kata Said dilansir detikcom, Sabtu (29/8/2020).

Ia mengatakan, untuk mendongkrak konsumsi tak bisa jika hanya mengandalkan APBN. Oleh sebab itu, daya beli masyarakat melalui kenaikan upah minimum harus dilakukan.

“Kenaikan upah pun harus dilakukan, kalau nggak konsumsi akan turun. Seberapa kuat sih bansos pemerintah? Kan uangnya sudah jebol APBN itu. Subsidi upah juga kan paling sampai Desember. Oleh karena itu, bagi perusahaan-perusahaan secara umum dia harus menaikkan upah,” terang Said.

Ia mengakui, memang sederet perusahaan mengalami tekanan karena pandemi Covid-19.

Read More

Namun, ada beberapa sektor yang justru tumbuh di tengah pandemi seperti industri farmasi atau alat kesehatan (alkes).

Ia mengatakan, perusahaan yang tak mampu memenuhi usulan kenaikan upah dapat menginformasikannya secara resmi kepada pemerintah.

“Bagi yang tidak mampu, baru nanti melapor. Kan sudah ada itu surat edaran menteri bagaimana perusahaan yang tidak mampu membayar upah. Tapi jangan dipukul rata dulu semua tidak mampu, itu salah,” tegasnya.

KSPI menilai untuk memperbaiki pertumbuhan ekonomi Indonesia di tengah pandemi virus corona tak hanya bisa mengandalkan investasi.

Said Iqbal mengatakan, cara paling efektif ialah mendongkrak daya beli masyarakat dengan menaikkan upah minimum provinsi 8% di 2021.

“Salah satu yang membuat pertumbuhan ekonomi kita terpukul kan konsumsi turun, di samping investasi tentu. Kalau investasi dalam dua tahun kan kita nggak bisa prediksi, karena COVID-19 kan belum tahu kapan selesainya. Tapi kalau konsumsi, khususnya konsumsi dalam negeri, domestic consumption, kita bisa jaga dengan cara menjaga daya beli,” kata Said.

Ia mengatakan, untuk mendongkrak daya beli masyarakat maka “Kenaikan upah pun harus dilakukan, kalau nggak konsumsi akan turun,” tutur Said.

Ia memberikan contoh, ketika perekonomian tertekan pada krisis moneter tahun 1998, upah minimum tetap dinaikkan.

Menurut Said, langkah itu justru membantu perbaikan ekonomi Indonesia yang didominasi oleh konsumsi rumah tangga.

“Waktu itu ‘kan pertumbuhan ekonomi minus 15%, inflasi jauh sekali minusnya puluhan persen. Dan itu tidak dinaikkan upah, akhirnya gejolak buruh melakukan demo besar-besaran dan akhirnya dinaikkan juga oleh pemerintah. Nah dengan menaikkan itu, mendongkrak juga akhirnya daya beli masyarakat, itu pernah terjadi tahun 1998 yang tadinya tidak ada kenaikan, akhirnya kalau nggak salah dinaikkan sekitar 5%,” pungkasnya.

Tidak Realistis

Menanggapi tuntutan tersebut, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani menilai, usulan itu tidak realistis. Pasalnya, kondisi saat ini sedang tidak biasa.

“Ini kan situasi yang sangat berat semuanya, perusahaan berat, karyawan berat. Kalau ada usulan itu kan apakah mungkin bisa dilaksanakan? Kan menjadi tidak realistis dengan kondisi yang ada,” tutur Hariyadi.

Ia mengatakan, berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 78 tahun 2015 tentang pengupahan, kenaikan upah minimum disesuaikan dengan formula pertumbuhan ekonomi ditambah inflasi.

Namun, saat ini pertumbuhan ekonomi Indonesia di ambang negatif 5,32% pada kuartal II-2020. Lalu, pada Juli 2020 Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat deflasi 0,10%. Sementara di bulan Agustus, Bank Indonesia (BI) memprediksi deflasi 0,04%.

“Nah sekarang pertumbuhan ekonominya minus 5,32%. (Kalau pun) inflasi mungkin hanya sekitar 2%. Jadi kalau pakai formula nasional saja itu minus 5% di tambah 2%, itu kan minus 3%. Nah pertanyaannya adalah apa mungkin jika minus 3% ada kenaikan upah minimum?” tegas dia.

Ia meminta, serikat buruh memberikan usulan yang realistis atau pun melihat kondisi lapangan.

“Sekarang saja pemerintah menggelontorkan subsidi, yang melalui BPJS Ketenagakerjaan. Itu ‘kan berarti situasinya memang sudah berat sekali. Jadi lebih baik lihat dari realitas, baru di situ bisa melihat kesimpulannya apa,” kata Hariyadi.

Ia menuturkan, usulan itu tak sesuai dengan kondisi dunia usaha yang sedang menghadapi tekanan pandemi corona. Menurutnya, saat ini masih ada orang-orang yang bisa bekerja saja sudah untung.

“Yang namanya upah minimum itu kan upah yang paling rendah, itu kan safety net. Nah sekarang kalau industrinya saja sudah minus, safety net-nya bagaimana? Masih untung ada yang bisa kerja, kalau ada yang masih kerja,” kata Hariyadi.

Ia memberikan contoh, saat ini saja industri perhotelan di Bali yang merupakan pusat pariwisata Indonesia banyak yang menutup operasionalnya, sehingga menurutnya usulan kenaikan upah minimum tak akan bisa dilakukan.

“Saya ambil contoh saja yang ekstrem. Di bali itu hampir boleh dibilang, yang masih beroperasi hotelnya hanya 10-15%. Nah itu bagaimana? Jadi kan nggak mungkin dilakukan hal-hal seperti itu, dan kondisinya kan menyeluruh,” tegas dia.

Hariyadi mengatakan, kalau pun upah minimum dinaikkan, akan ada banyak perusahaan yang tak mau melaksanakannya.

“Jadi kalau saya melihat semua keputusan harus didasarkan pada realitas yang ada. Jangan sampai kita mengambil keputusan, tidak kuat dasarnya. Kalau pun diputuskan seperti itu, di lapangan nggak akan dijalani juga, nggak ada yang mau mengikuti, kan jadi konyol,” imbuhnya.*

 

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *