Pandemi Covid-19 tidak hanya berpotensi mengakibatkan kontraksi pertumbuhan ekonomi, tetapi juga peningkatan jumlah pengangguran dalam skala besar.
Dalam beberapa pekan terakhir, gelombang Penghentian Hubungan Kerja (PHK) makin merebak di sejumlah sektor. Ada pula perusahaan yang hanya mampu membayar separuh dari gaji karyawannya.
Jika pandemi ini berlangsung lebih lama, Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia mengingatkan akan potensi lonjakan jumlah pengangguran yang sangat tinggi dalam tahun ini.
Pada Agustus 2019, Jumlah pengangguran terbuka tercatat 7,05 juta orang atau 5,28% dari total angkatan kerja. Ini belum termasuk yang setengah menganggur yang jumlahnya 8,14 juta, dan pekerja paruh waktu 28,41 juta orang.
Selain PHK pada sektor formal, dampak pandemi Covid-19 terhadap hilangnya mata pencaharian di sektor informal perlu lebih diwaspadai.
Pasalnya, daya tahan ekonomi para pekerja di sektor informal relatif rapuh, terutama yang bergantung pada penghasilan harian, mobilitas orang, dan aktivitas orang-orang yang bekerja di sektor formal.
Terlebih lagi jumlah pekerja di sektor informal di Indonesia lebih besar dibanding pekerja sektor formal, yakni mencapai 71,7 juta orang atau 56,7% dari total jumlah tenaga kerja. Mayoritas dari mereka bekerja pada usaha skala mikro (89% di tahun 2018).
CORE Indonesia memperkirakan peningkatan jumlah pengangguran terbuka pada triwulan II 2020 dalam tiga skenario.
Potensi tambahan jumlah pengangguran terbuka secara nasional mencapai 4,25 juta orang dengan skenario ringan, 6,68 juta orang dengan skenario sedang, dan bahkan hingga 9,35 juta orang dengan skenario berat.
Penambahan jumlah pengangguran terbuka terjadi terutama di pulau Jawa, yaitu mencapai 3,4 juta orang dengan skenario ringan, 5,06 juta orang dengan skenario sedang dan 6,94 juta orang dengan skenario berat.
Tingkat pengangguran terbuka secara nasional pada triwulan II 2020 diperkirakan mencapai 8,2 persen dengan skenario ringan, 9,79 persen dengan skenario sedang dan 11,47 persen dengan skenario berat.
Penambahan jumlah pengangguran terbuka yang signifikan bukan hanya disebabkan oleh perlambatan laju pertumbuhan ekonomi (yang menurut proyeksi CORE Indonesia akan berkisar -2,00 persen hingga 2,00 persen pada tahun 2020), melainkan juga disebabkan oleh perubahan perilaku masyarakat terkait pandemi Covid-19 dan kebijakan pembatasan sosial, baik dalam skala kecil maupun skala besar.
Perhitungan penambahan jumlah pengangguran terbuka tersebut didasarkan pada sejumlah asumsi. Di antaranya:
Pertama, situasi pandemi Covid-19 akan lebih buruk pada bulan Mei 2020 dibandingkan bulan April 2020.
Kedua, dampak pandemi Covid-19 akan berbeda untuk lapangan usaha yang berbeda, status pekerjaan yang berbeda, dan wilayah yang berbeda, baik dilihat dari lokasi provinsi maupun lokasi kota dan desa.
Dalam hal ini, lapangan usaha yang diasumsikan mengalami dampak paling parah adalah penyediaan akomodasi dan makan minum, transportasi dan pergudangan dan perdagangan, baik perdagangan besar maupun eceran.
Sebaliknya, lapangan usaha yang diasumsikan mengalami dampak paling ringah adalah jasa kesehatan dan kegiatan sosial dan jasa administrasi pemerintahan, pertahanan, dan jaminan sosial wajib.
Status pekerjaan yang diasumsikan akan mengalami dampak paling parah adalah pekerja bebas atau pekerja lepas, berusaha sendiri (yang pada umumnya berskala mikro), berusaha sendiri dengan dibantu buruh tidak tetap/buruh tidak dibayar, dan pekerja keluarga/tak dibayar.
Dilihat dari sisi wilayah, diasumsikan bahwa DKI Jakarta akan mengalami dampak paling parah, diikuti Jawa Barat dan provinsi-provinsi lain di pulau Jawa. Dampak pandemi Covid-19 diasumsikan akan lebih besar di perkotaan daripada di perdesaan.
Skenario berat dibangun dengan asumsi bahwa penyebaran Covid-19 akan semakin luas pada bulan Mei 2020, tetapi tidak sampai memburuk sehingga kebijakan PSBB hanya diterapkan di wilayah tertentu di pulau Jawa dan satu dua kota di luar pulau Jawa.
Skenario cukup berat dibangun dengan asumsi bahwa penyebaran Covid-19 lebih luas lagi dan kebijakan PSBB diberlakukan lebih luas di banyak wilayah di pulau Jawa dan beberapa kota di luar pulau Jawa.
Skenario sangat berat dibangun dengan asumsi bahwa penyebaran Covid-19 tak terbendung lagi dan kebijakan PSBB diberlakukan secara luas baik di pulau Jawa maupun luar Jawa, dengan standar yang sangat ketat.
Lima Rekomendasi
CORE Indonesia mengapresiasi pemerintah Indonesia yang telah mengambil langkahlangkah untuk menghambat penyebaran pandemi dan juga mengambil kebijakankebijakan untuk membantu ekonomi masyarakat yang terdampak, memberikan insentif dunia usaha, serta meningkatkan stimulus terhadap ekonomi makro.
Di saat konsumsi swasta, investasi, dan ekspor anjlok, belanja pemerintah saat ini menjadi faktor utama yang dapat mendorong pergerakan ekonomi riil. Semakin besar intervensi pemerintah, maka tekanan ekonomi akibat pandemi Covid-19 dapat diminimalkan.
Beberapa program bantuan sosial yang telah direncanakan pemerintah antara lain:
Pertama, Bantuan Sosial Khusus untuk penduduk Jabodetabek masing-masing Rp600 ribu selama tiga bulan untuk 1,2 juta KK di DKI Jakarta dan 576 KK di Depok, Tangerang, dan Bekasi.
Kedua, menambah jumlah penerima Program Keluarga Harapan (PKH) sebanyak 800 ribu KK menjadi 10 juta KK.
Ketiga, menambah jumlah penerima Kartu Sembako dari 15, 6 juta KK menjadi 20 juta KK, dengan nilai bantuan naik dari Rp150 ribu menjadi Rp200 ribu.
Keempat, menambah alokasi untuk Kartu Pra Kerja dari Rp 10 triliun menjadi Rp 20 triliun yang mencakup 5,6 juta orang.
Kelima, menggratiskan tarif listrik untuk pelanggan 450 VA dan diskon 50% untuk 900 VA.
Namun demikian, CORE Indonesia menggarisbawahi setidaknya 5 hal yang perlu diperhatikan agar kebijakan-kebijakan pemerintah tersebut memberikan dampak optimal.
Pertama, mempercepat distribusi bantuan sosial dan secara simultan melengkapi data penerima dengan memadukan data pemerintah dan data masyarakat. Idealnya intervensi pemerintah setidaknya harus tepat sasaran, tepat waktu, tepat jumlah, dan tepat bentuknya.
Artinya, intervensi tersebut membutuhkan data yang akurat. Namun dalam kondisi saat ini, pemerintah tidak dapat menunda terlalu lama distribusi bantuan sosial dengan alasan data yang kurang lengkap.
Proses peningkatan kualitas data dapat berjalan seiring dengan pelaksanaan distribusi bantuan. Kemelut ekonomi saat ini juga menjadi peluang pemerintah untuk memperbaiki data penduduk berdasarkan status ekonomi dan pekerjaan mereka secara lebih lengkap sehingga program-program sosial pemerintah dapat lebih tepat sasaran.
Kedua, mengintegrasikan data pengangguran dan penerima bantuan sosial yang selama ini dimiliki dari berbagai lembaga pemerintah dan non-pemerintah.
Mulai dari Kementerian Sosial, BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi, lembaga administrasi pemerintah hingga tingkat desa/kelurahan, hingga lembaga masyarakat khususnya RT dan RW termasuk asosiasi-asosiasi tenaga kerja.
Pemerintah, misalnya, dapat memanfaatkan data Kartu Indonesia Sehat (KIS) yang dimiliki BPJS Kesehatan sebanyak 96,8 juta penerima yang sebagian datanya telah memiliki nama dan alamat. Meskipun demikian, pemerintah harus membuka peluang upgrading data berdasarkan informasi dari lembaga pemerintah dan masyarakat di tingkat bawah.
Ketiga, menyesuaikan skema bantuan Kartu Pra-Kerja dengan memprioritaskan pengangguran yang tidak mampu, khususnya yang terkena dampak Covid-19, dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka.
Paket pelatihan senilai satu juta rupiah yang mengalir kepada penyelenggara pelatihan yang satu paket dengan insentif pelatihan dan biaya survei masing-masing Rp600 ribu dan Rp150 ribu, perlu ditinjau ulang pada masa pandemi ini.
Alasannya, peningkatan jumlah pengangguran saat ini terjadi akibat turunnya permintaan tenaga kerja karena perlambatan ekonomi (demand shock), dan bukan akibat persoalan kualitas supply tenaga kerja sehingga membutuhkan peningkatan skill.
Program Kartu Pra-Kerja juga dapat menjadi basis untuk membenahi data pengangguran sehingga dapat dijadikan sebagai basis data pengangguran yang real time, yang dapat menjadi basis kebijakan-kebijakan di bidang ketenagakerjaan, seperti memberikan sejenis unemployment benefit baik berbentuk bantuan untuk mendapatkan pekerjaan.
Apalagi sasaran Kartu Pra-Kerja sebanyak 5,6 juta orang, setara dengan 80 persen angka pengangguran yang mencapai 7 juta orang (per Agustus 2019).
Keempat, mendorong kepada dunia usaha melalui pemberian insentif agar mereka mengoptimalkan alternatif-alternatif untuk mempertahankan tenaga kerja mereka dibandingkan dengan PHK.
Beberapa alternatif tersebut di antaranya pengurangan jam kerja dan hari kerja, pengurangan shift dan lembur, hingga pemotongan gaji, dan penundaan pembayaran tunjangan dan insentif.
Kepada dunia usaha yang bersedia melakukan hal tersebut, pemerintah perlu memberikan insentif yang lebih besar, seperti penurunan tarif listrik untuk bisnis dan industri, penurunan tarif gas industri, pemberian 4 diskon tarif pajak, dan penundaan pembayaran cicilan pajak.
Dalam menerapkan solusi ini, pemerintah harus melibatkan pihak pengusaha dan serikat buruh sehingga solusi yang diambil dapat diterima kedua belah pihak.
Kelima, mengoptimalkan bantuan sosial yang berdampak lebih besar terhadap ekonomi masyarakat. Selain memberikan bantuan dalam bentuk barang (in-kind) yang terkena Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), idealnya bantuan-bantuan sosial yang diberikan pemerintah di luar PSBB adalah dalam bentuk uang yang penyalurannya lebih efisien dibandingkan dengan in-kind.
Alasannya, bantuan dalam bentuk uang dapat disalurkan melalui lembaga keuangan bank dan non-bank, atau lembaga-lembaga yang dapat memfasilitasi transaksi keuangan seperti PT Pos dan sebagainya.
Di samping itu, dibandingkan barang, transfer dalam bentuk uang tersebut memberikan pilihan yang lebih besar kepada penerima sesuai dengan kebutuhan mereka, dan memberikan dampak multiplier yang lebih besar dalam menggerakkan ekonomi masyarakat.