Panduan Belajar Daring

Panduan Belajar Daring
Sumber foto indracharismiadji

Oleh  Indra Charismiadji

Katalis.net — Mendikbud mengeluarkan Surat Edaran nomor 36962/MPK.A/HK/2020 agar seluruh kegiatan belajar mengajar baik di sekolah maupun kampus perguruan tinggi menggunakan metoda belajar daring (dalam jaringan) alias online sebagai upaya pencegahan terhadap perkembangan dan penyebaran Corona Virus Disease (Covid-19).

Banyak sekali kisah menarik, lucu, maupun sedih yang terjadi dalam proses belajar dengan metode ini. Bisa dilihat bagaimana gagapnya para pendidik, stresnya orang tua yang mendampingi anak-anaknya belajar di rumah, dan tentunya bagaimana siswa kebingungan menghadapi tumpukan tugas yang aneh-aneh dari para pendidik yang sedang gagap.

Panduan Belajar Daring

Secara proses, sebenarnya model pembelajaran modern ini sudah diatur dalam Permendikbud no. 22 tahun 2016 tentang Standar Proses dengan prinsip sebagai berikut:

  1. Dari peserta didik diberi tahu menuju peserta didik mencari tahu;
  2. Dari guru sebagai satu-satunya sumber belajar menjadi belajar berbasis aneka sumber belajar;
  3. Dari pendekatan tekstual menuju proses sebagai penguatan penggunaan pendekatan ilmiah;
  4. Dari pembelajaran berbasis konten menuju pembelajaran berbasis kompetensi;
  5. Dari pembelajaran parsial menuju pembelajaran terpadu;
  6. Dari pembelajaran yang menekankan jawaban tunggal menuju pembelajaran dengan jawaban yang kebenarannya multi dimensi;
  7. Dari pembelajaran verbalisme menuju keterampilan aplikatif;
  8. Peningkatan dan keseimbangan antara keterampilan fisikal (hardskills) dan keterampilan mental (softskills);
  9. Pembelajaran yang mengutamakan pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik sebagai pembelajar sepanjang hayat;
  10. Pembelajaran yang menerapkan nilai-nilai dengan memberi keteladanan (ing ngarso sung tulodo), membangun kemauan (ing madyo mangun karso), dan mengembangkan kreatifitas peserta didik dalam proses pembelajaran (tut wuri handayani);
  11. Pembelajaran yang berlangsung di rumah di sekolah, dan di masyarakat;
  12. Pembelajaran yang menerapkan prinsip bahwa siapa saja adalah guru, siapa saja adalah peserta didik, dan di mana saja adalah kelas;
  13. Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pembelajaran; dan
  14. Pengakuan atas perbedaan individual dan latar belakang budaya peserta

Apabila prinsip pembelajaran diatas diselaraskan dengan 4 pilar pendidikan yang disusun oleh UNESCO yaitu: Learning to Know (belajar untuk mengetahui), Learning to Do (belajar untuk melakukan sesuatu), Learning to Be (belajar untuk menjadi sesuatu), dan Learning to Live Together (belajar untuk hidup bersama).

Maka saat ini adalah kesempatan paling tepat untuk mengatur ulang arah dunia pendidikan kita yang selama sudah tersesat jauh dari tujuan.

Dunia pendidikan harus kembali mengajarkan cara belajar (Learning How to Learn) bukan Learning What to Learn (belajar tentang sesuatu).

Read More

Semua ini tercermin dari isi pembelajaran daring seminggu ini dimana guru masih berkutat tentang konten / materi yang dibuat untuk memberi tahu peserta didik daripada membiarkan mereka untuk mencari tahu sendiri.

Dengan adanya internet peserta didik dapat belajar untuk tahu, belajar untuk melakukan, belajar untuk menjadi sesuatu, dan belajar untuk hidup bersama dengan pendekatan yang sangat berbeda di masa pra internet dimana guru menjadi satu-satunya sumber belajar.

Para pendidik cukup memfasilitasi bagaimana peserta didik dapat mencari tahu sumber belajar yang dapat dipercaya, bukan hoax, dan bukan sekedar opini seseorang yang kredibilitasnya masih diragukan.

Tahun 2014 yang lalu, Bank Dunia meluncurkan sebuah kajian berjudul Developing Social-Emotional Skills for the Labor Market (Mengembangkan Keterampilan Sosial Emosional untuk Dunia Kerja) yang ditulis oleh Nancy Guerra, Kathryn Modecki, dan Wendy Cunningham.

Ada 8 keterampilan yang paling dicari oleh perusahan-perusahaan dalam merekrut pegawai:

Memecahkan Masalah yang optimal perkembangannya diusia anak (6-12 tahun) dan remaja (12-18 tahun), namun dapat dikenalkan dasarnya sejak usia dini (0-5 tahun), dan dapat dikuatkan sampai usia dewasa (19-29 tahun).

Ketangguhan (tidak mudah menyerah) yang optimal perkembangannya diusia dini (0-5  tahun) dan usia anak (6-12 tahun), serta dapat dikuatkan sampai pada usia remaja (12-18 tahun).

Motivasi untuk Berprestasi yang optimal perkembangannya anak (6-12 tahun) dan dapat dikuatkan sampai pada usia remaja (12-18 tahun).

Pengendalian Diri yang optimal perkembangannya diusia   dini (0-5 tahun) dilanjutkan pada usia anak (6-12 tahun) hingga di usia remaja (12-18 tahun), dan dapat dikuatkan sampai usia dewasa (19-29 tahun).

Teamwork yang optimal perkembangannya  diusia dini (0-5 tahun) dan usia anak (6-12 tahun), serta dapat dikuatkan sampai pada usia remaja (12-18 tahun).

Prakarsa yang optimal perkembangannya dari usia dini sampai dengan dewasa (0-29 tahun).

Kepercayaan Diri yang optimal perkembangannya diusia anak (6-12 tahun) dan remaja (12-  18 tahun), namun dapat dikenalkan dasarnya sejak usia dini (0-5 tahun), dan dapat dikuatkan sampai usia dewasa (19-29 tahun).

Etika yang optimal perkembangannya diusia anak (6-12 tahun) dan remaja (12-18 tahun), namun dapat dikenalkan dasarnya sejak usia dini (0-5 tahun).

Developing Social-Emotional Skills for the Labor Market (Guerra, Modecki, Cunningham – World Bank Group 2014)
Gambar 1: Developing Social-Emotional Skills for the Labor Market (Guerra, Modecki, Cunningham – World Bank Group 2014)

 

Jika para pendidik dan orang tua memahami bahwa keterampilan-keterampilan tersebut yang dibutuhkan untuk dikembangkan dalam diri para peserta didik dalam menghadapai tantangan di  abad 21 ini maka model pembelajaran dapat diarahkan agar bermuara kesana.

Misalnya selama  masa belajar dirumah ini peserta didik dapat diarahkan untuk mencari pemecahan masalah yang berhubungan dengan Corona Virus Disease (Covid-19). Solusinya bisa dari sisi kesehatan, pangan, sosial, ekonomi, dan lain sebagainya.

Solusi yang ditawarkan harus memiliki landasan teori yang kuat dan bukan sekedar ide liar, disinilah letak peserta didik akan belajar mencari tahu. Solusi tersebut harus dikerjakan secara kelompok walaupun tidak bertemu tatap muka.

Solusi yang ditawarkan  harus dipresentasikan dalam bentuk video dan diunggah ke media sosial seperti youtube, facebook, linkedin, line, ataupun yang lain. Penilaian akan berdasarkan jumlah views (berapa kali ditonton), berapa jempol (like), dan berapa banyak komentar / interaksi yang muncul dari unggahan tersebut.

Silahkan konsep ini dicoba, saya yakin manfaatnya akan lebih terasa bagi peserta didik, jelas akan mengurangi tingkat stres para orang tua di rumah, menghilangkan kegagapan pendidik dalam pelaksanaan pembelajaran daring, dan yang pasti mengembalikan dunia pendidikan ke arah yang seharusnya dituju yaitu belajar untuk belajar bukan apa yang harus dipelajari.

Kita semua akan dikagetkan dengan kreatifitas dan inovasi generasi penerus bangsa yang selama ini tidak diberi kesempatan karena waktu belajarnya habis untuk diberi tahu belajar apa.

Konsep ini akan mengubah pandangan para orang tua dan pendidik yang selama ini melihat gawai konsumsi semata, sekarang akan berubah menjadi alat produksi. Dan inilah proses pembangunan SDM unggul yang sesunguhnya.

Penulis adalah Pemerhati dan Praktisi Edukasi 4.0. Direktur Eksekutif CERDAS (Center for Education Regulations & Development Analysis) Direktur Pendidikan VOX Populi Institute Indonesia.

 

Related posts