Guru Belum Merdeka, Mendikbud Punya 7 PR Besar

Guru Belum Merdeka, Mendikbud Punya 7 PR Besar
Pixabay

Katalis.net — Dalam rangka hari guru nasional, Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G) memberikan catatan sekaligus rekomendasi untuk kepada pemerintah pusat dan daerah:

Pertama. Kesejahteraan bagi guru khususnya guru honorer di sekolah swasta dan negeri mesti ditingkatkan. Perhimpunan Guru mendorong Pemda memberikan upah guru honorer minimal setara UMP/UMR, sehingga kisah guru honorer yang tragis sebab kesejahteraannya sangat minim tidak terjadi lagi. Demikian disampaikan Satriwan Salim (Koordinator Nasional P2G).

“Sebagai organisasi guru, P2G banyak diisi oleh guru-guru honorer, yang upahnya hanya 500-700 ribu/bulan. Di sisi lain mereka tetap dituntut sempurna dan profesional dalam melaksanakan tugas. Kami sangat sedih honor guru honorer ini horor, ini sangat tidak manusiawi,” ungkap Satriwan.

Oleh karena itu P2G mengapresiasi Pemerintah Pusat; Kemdikbud dan Kemenpan RB plus Komisi X membuat kebijakan membuka lowongan seleksi guru honorer menjadi Guru P3K sebanyak 1 juta lowongan tahun depan.

Kebijakan strategis yang akan sangat membantu kekurangan guru di tanah air. Sampai 2024 Indonesia kekurangan 1,3 juta guru. Dengan dibukanya lowongan 1 juta guru, diharapkan akan menaikkan kesejahteraan para guru honorer dengan menjadi ASN ke depan.

P2G juga mengapresiasi kebijakan Mas Menteri di awal kepemimpinannya terkait guru: Penyederhanaan RPP Guru; Menghapuskan UN yang selalu jadi beban guru dan siswa; Bantuan Subsidi Kuota Internet; dan Bantuan Subsidi Upah (BSU). Harus jujur diakui, beberapa kebijakan di atas sangat membantu guru khususnya di masa pandemi ini.

Kedua. Sebagai organisasi guru, P2G memandang perlunya pembenahan dalam rekrutmen guru dan disain pengembangan kompetensi guru ke depan.

Dalam konteks rekrutmen guru, persoalannya sebenarnya sudah muncul di level hulu yakni ketika mahasiswa calon guru masuk kampus LPTK (Lembaga Pendidikan dan Tenaga Kependidikan).

Harus ada pembenahan seleksi masuk LPTK bagi calon guru, termasuk revitalisasi pengelolaan LPTK secara nasional.

Bagaimanapun juga LPTK masih menjadi “pabrik” calon guru. Rendahnya kompetensi guru Indonesia hingga sekarang, tak lepas dari buruknya pengelolaan guru mulai dari hulunya yakni LPTK tersebut.

Kemdikbud harusnya juga melaksanakan perintah Pasal 22-23 UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Dituliskan bahwa:

“Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dapat menetapkan pola ikatan dinas bagi calon guru untuk memenuhi kepentingan pembangunan pendidikan nasional atau kepentingan pembangunan daerah” (Pasal 22 ayat 1) dan

“Pemerintah mengembangkan sistem pendidikan guru ikatan dinas berasrama di lembaga pendidikan tenaga kependidikan untuk menjamin efisiensi dan mutu pendidikan” (Pasal 23 ayat 1).

Pola rekrutmen seperti ini belum terwujud hingga sekarang. Rekrutmen guru pola ikatan dinas ini memberikan setidaknya 2 manfaat sekaligus: 1) Guru yang direkrut adalah benar-benar guru pilihan dan memiliki kompetensi sejak mulai kuliah di LPTK yang berstatus PNS dan 2) Rekrutmen guru pola ikatan dinas sejak di LPTK ini dapat memenuhi kekurangan guru secara nasional.

Ketiga. Pengembangan dan peningkatan kompetensi guru adalah keharusan yang mesti dipenuhi oleh negara, baik Kemdikbud/Kemenag maupun pemerintah daerah.

Satriwan melanjutkan P2G sangat kecewa melihat fakta, masih banyaknya daerah provinsi dan kota/kabupaten yang anggaran pendidikannya dalam APBD masih jauh di bawah 20%, padahal adalah menjadi kewajiban daerah (dan pusat) untuk mengalokasikan anggaran pendidikan minimal 20% dari APBN dan APBD.

Sudahlah anggaran pendidikan daerah kecil -bahkan P2G menemukan ada Pemda yang anggaran pendidikannya di bawah 5% APBD- belum lagi, berapa persen yang bisa kita harapkan alokasinya untuk pelatihan dan pengembangan kompetensi guru?

Tak bisa berharap banyak akan peningkatan kualitas guru kalau begini. Padahal salah satu pokok pangkal persoalan guru nasional hingga sekarang adalah rendahnya kompetensi (kualitas) guru kita.

“Pemda jangan lepas tanggungjawab dalam hal ini. Politik anggaran pendidikan khususnya untuk peningkatan kompetensi guru adalah kebutuhan mendesak dilakukan, jika tidak guru-guru kita masih berkutat di urusan kompetensi yang menyedihkan.

Kalau perlu jangan pilih calon kepala daerah yang tak berkomitmen menaikkan anggaran pendidikan daerah menjadi 20%,” beber guru SMA ini.

Keempat. Sedangkan menurut Iman Z. Haeri (Kabid Advokasi Guru P2G), di era digital, revolusi industri 4.0 ini, keterampilan digital menjadi sebuah kebutuhan guru masa kini dan masa mendatang.

“Kami berharap guru-guru terus meningkatkan kemampuan dalam menggunakan perangkat teknologi digital dalam pembelajaran. Bukan sekedar menjadi pengguna (user experience), namun mampu bereksperimen di dunia digital,” demikian ungkap Iman.

Iman melanjutkan, rencana Kemdikbud melakukan “digitalisasi sekolah” harus dibarengi dengan pemenuhan kebutuhan dasar infrastruktur penunjangnya: seperti listrik dan sinyal internet dan terpenting memberikan pelatihan penggunaan teknologi digital dalam pembelajaran, sehingga SDM guru benar-benar siap melaksanakan yang disebut “cyber pedagogy”.

Bahkan perlunya Pemerintah menyiapkan laptop / tablet dengan kapasitas sejenis bagi setiap guru. “Satu guru satu laptop.” Agar kesenjangan digital seperti yang saat ini nampak selama PJJ, tidak terus-menerus menjadi momok menakutkan kualitas pendidikan nasional.

P2G meminta agar digitalisasi sekolah ala Mas Menteri jangan sekedar bagi-bagi laptop dan komputer.

Kelima. Satriwan kemudian mengingatkan, menghadapi Pilkada serentak Desember 2020 di beberapa daerah, P2G meminta para guru agar jangan mau terjebak dalam situasi politik praktis.

“Guru jangan memobilisasi atau mau dimobilisasi oleh para tim sukses/kandidat calon kepala daerah yang bertarung. Apalagi sampai memengaruhi pilihan politik para siswa seperti kelas XI dan XII, yang secara usia berpotensi menjadi pemilih pemula dalam Pilkada,” demikian bekas Wasekjen FSGI ini mengingatkan.

Terutama bagi guru berstatus ASN, yang terikat oleh Disiplin PNS dalam PP No. 53 Tahun 2010. Guru-guru hendaknya melakukan pendidikan politik dan pendidikan demokrasi yang tetap memegang tegus independensi.

Selain itu keterlibatan dalam mobilisasi politik berpotensi meningkatkan penularan Covid-19. Sehingga malah membuat para guru tersebut menjadi pemicu klaster sebaran penularan Covid-19 di sekolah.

Keenam. Selanjutnya Iman mengingatkan bahwa perlindungan guru khususnya di masa pandemi harus tetap menjadi prioritas pemerintah pusat dan daerah.

Menunda sekolah tatap muka, merupakan langkah terbaik untuk melindungi kesehatan dan keselamatan guru dan siswa serta keluarga mereka.

“P2G mendesak Kemdikbud, Kemenag, dan Pemda membantu memberi insentif kepada sekolah-sekolah swasta menengah ke bawah yang mengalami kesulitan finansial selama pandemi ini.

Yang akhirnya berdampak kepada beekurangnya pendapatan gurunya,” demikian harapan Iman yang merupakan guru honorer di Jakarta. P2G meminta Kemdikbud tidak lepas tanggung jawab dalam soal membuka sekolah Januari 2021 ini.

Ketujuh. Pendataan terkait guru honorer dan swasta penerima Bantuan Subsidi Upah (BSU) mesti dibenahi Kemdikbud.

Sebab P2G mendapatkan laporan dari Kab. Pandeglang, Jakarta, Kab. Blitar, Kab. Brebes, Kab. Garut, dan Kota Bekasi masih banyak guru honorer yang belum terdaftar berhak menerima BSU Kemdikbud, padahal mereka sudah terdaftar di Dapodik dan masuk kategori yang berhak menerima sesuai aturan Kemdikbud. Ada juga justru sebaliknya, P2G dapat laporan dari guru di Kab. Pacitan.

“Ada kasus seperti di Pacitan, seorang Guru ASN SMA justru dapat BSU, setelah mengeck di Web Info GTK. Artinya pendataannya masih bermasalah. P2G berharap Dirjend GTK betul2 mengkroscek validasi pemerima BSU agar tepat sasaran,” demikian minta Satriwan.

Kemdikbud mesti proaktif melakukan kroscek ke sekolah-sekolah melalui Dinas Pendidikan dan LPMP. Agar dana 3,66 triliyun tersebut betul-betul sampai ke guru yang berhak. Demi serapan anggaran yang baik. Karena BSU sangat membantu guru honorer dan swasta di masa krisis ini.

Tujuh (7) poin di atas adalah bukti bahwa guru Indonesia belum merdeka. 7 poin tersebut masih menjadi PR besar Mas Menteri dan Pemda untuk segera dituntaskan.

(Katalis.net – Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru)

Related posts