Kita sering membicarakan masa depan makanan, tapi bagaimana dengan sejarahnya?
Katalis.net — Pertanian mengajarkan kepada kita cara mengonseptualisasikan bagaimana manusia berinteraksi dengan alam.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita mungkin tidak menyadari bahwa beberapa makanan pokok berasal dari tradisi pertanian yang luar biasa dan mengakar kuat dalam budaya dan identitas kita.
Produksi makanan telah berkembang dan meningkat secara dramatis dari waktu ke waktu.
Beberapa cara warisan leluhur dalam memproduksi tanaman memiliki banyak hal untuk diajarkan kepada kita tentang melindungi lingkungan yang berkelanjutan serta beradaptasi dengan perubahan iklim.
Konservasi sumber daya alam pertanian berkelanjutan dan agroekologi merupakan teknik untuk melestarikan apa yang telah diberikan bumi kepada kita.
Contents
Sawah Abadi di Kota Bandung
Lahan pertanian mengalami alih fungsi lahan menjadi kawasan perkebunan, industri dan perumahan.
Sejak awal 1990 an, pembangunan kawasan perumahan dan industri terus meningkat dan menyebabkan lahan pertanian semakin menyusut.
Meski Indonesia memiliki Undang-undang yang mengatur larangan alih fungsi lahan pertanian sejak beberapa tahun lalu, alih fungsi lahan tetap terjadi.
Hanya sedikit pemerintah daerah yang mempertahankan lahan pertanian.
Pemkot Bandung bekerja sama dengan Yayasan Al Sali Iskandar akan memberikan nilai tambah sawah seluas 8 hektar di Kelurahan Cisurupan, Kecamatan Cibiru yang merupakan lahan milik Pemkot Bandung menjadi kawasan wisata edukasi alam.
Kang Yana mengatakan, lahan yang digunakan tidak akan mengubah fungsi kawasan tersebut. “Jangan ada perubahan fungsi, tidak boleh ada perkerasan. Intinya jangan ada perubahan fungsi.
Sementara itu Kang Yana memastikan, pembangunan galengan dan saung tidak akan menggunakan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Kota Bandung. “Pada dasarnya Pemkot Bandung bisa saja mengizinkan selama prosedur normatifnya ditempuh,” kata Kang Yana.
Pertanian dan Kisahnya
Seperti banyak aspek kehidupan orang Indonesia lainnya, bertani dipengaruhi oleh naik turunnya agama dan kerajaan.
Orang Bali memasukkan prinsip Tri Hita Karana ke dalam kebiasaan bertani mereka. Ini adalah prinsip Hindu yang mempromosikan harmoni antara manusia dan Tuhan, manusia lain, dan lingkungan.
Di Bali, pura dan sesaji dibangun di sekitar sumber air, pertanian diatur di sekitar masyarakat, dan persawahan dibangun untuk mengairi sawah tanpa membuang sumber air.
Masyarakat petani Bali mengoordinasikan sesuai dengan alam. Para petani yang mengairi ladangnya dari mata air atau sumber air yang sama termasuk dalam komunitas yang sama.
Komunitas tersebut mengatur pengembangan pertanian, menyelesaikan masalah, mengontrol distribusi air, dan mengatur upacara keagamaan. Sistem tradisional masih beroperasi di Bali sampai sekarang.
Budidaya padi dan tanaman lain juga penting untuk sistem sosial dan masyarakat di bagian lain Indonesia.
Untuk mengairi dan mengolah tanah secara efektif dalam wilayah tertentu, hubungan dibentuk antara petani, antara pemilik tanah, antara petani dan pemilik tanah, dan antara pekerja harian.
Pertanian dengan sawah yang mirip dengan yang ditemukan di Bali dapat ditemukan di bagian lain Indonesia juga, seperti Sumatera dan Sulawesi.
Namun, mereka mengikuti filosofi yang berbeda karena sistem kepercayaan yang berbeda dominan di wilayah ini.
Penataan dan usahatani persawahan di kawasan tersebut mencerminkan kearifan lokal tentang bagaimana bercocok tanam di daerah pegunungan sekaligus menjaga kelestarian air.
Orang Jawa sangat filosofis tentang bertani. Petani tradisional Jawa memandang pertanian tidak hanya sebagai tenaga kerja tetapi sebagai tugas spiritual dan eksistensial.
Para petani tahu apa, di mana, dan bagaimana menanam, dan mengikuti pranoto mongso, atau aturan tradisional musiman, tentang apa yang ditanam pada waktu tertentu untuk hasil yang maksimal dengan tetap menjaga keseimbangan alam. Orang Jawa juga tetap menggunakan alat pertanian tradisional.
Pertanian dan Masyarakat Sunda
Ngahuma atau berladang adalah suatu pola pertanian yang mengubah hutan alam menjadi hutan garapan, dengan tujuan menghasilkan kebutuhan pangan yang direncanakan. Proses itu berlangsung secara perputaran atau siklus.
Dari segi sejarah munculnya sistem atau pola pertanian, ngahuma merupakan suatu tahapan dalam evolusi budaya manusia dari budaya berburu dan meramu ke budaya bercocok tanam.
Ngahuma dikenal sejak manusia memahami proses alamiah tumbuhnya tanaman.
Masyarakat Jawa Barat, khususnya masyarakat Sunda sebagai masyarakat pedalaman telah mengenal sistem ngahuma sejak beberapa abad yang lampau, paling tidak sejak jaman neolitikum. Oleh karena itu masyarakat Sunda di Jawa Barat semula adalah masyarakat peladang.
Sebagai akibat laju pertumbuhan penduduk yang cepat, pada satu sisi, dan berkembangnya pengetahuan manusia mengenai bercocok tanam, pada sisi lain, di sebagian besar daerah Jawa Barat, sistem ngahuma berangsur-angsur ditinggalkan.
Sistem ngahuma berubah menjadi sistem pertanian sawah dan/atau tumpang sari.
Berladang merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat Sunda yang tidak dipisahkan dari tata ruang kawasan bermukim dan perlu diatur serta direncanakan dengan perhatian terhadap kekuatan alam yang ada.
Itu kenapa perlu sistem pengelolaan tata ruang lokal yang bijaksana, sehingga kawasan pertanian dan hutan lebat milik masyarakat adat Sunda akan terpelihara cukup baik dan harmonis dengan kehidupan masyarakat yang bergantung dengan kegiatan ngahuma.