Katalisnet.com, Jakarta — Pemerintah akan menjadikan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Langkah ini merupakan bagian transformasi sistem perpajakan yang tengah dijalankan pemerintah.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan, kebijakan penggantian NPWP dengan NIK ini sengaja dilakukan demi meningkatkan efisiensi dalam sistem administrasi pajak sekaligus menambah efektivitas sistem di Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
“Termasuk di dalamnya mengantisipasi perubahan, yaitu penggunaan NIK sebagai NPWP. Saya harap isu ini atau transformasi ini semakin meningkatkan efisiensi dan efektivitas di DJP,” ungkapnya, Senin (4/10/2021).
Sri Mulyani berharap, transformasi NIK menjadi NPWP ini bisa langsung terlihat dalam sistem perpajakan wajib orang pribadi. Pasalnya, mereka akan menjadi objek penggunaan NIK menjadi NPWP.
Era Satu Data
Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri (Dukcapil Kemendagri), Zudan Arif Fakrulloh, mengatakan, pembangunan era satu data di Indonesia sudah dimulai sejak 2013.
NIK akan menjadi satu-satunya nomor unik yang dimiliki warga negara sebagai identitasnya, termasuk penghapusan NPWP untuk diganti dengan NIK.
Nomor Pokok Wajib Pajak biasa disingkat dengan NPWP adalah nomor yang diberikan kepada wajib pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas wajib pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
Nomor Induk Kependudukan atau NIK adalah nomor identitas penduduk yang bersifat unik atau khas, tunggal dan melekat pada seseorang.
NIK diterbitkan setelah dilakukan pencatatan biodata penduduk sebagai dasar penerbitan KK, KTP dan Akta-akta Catatan Sipil pada Dinas Dukcapil setempat.
“Ke depan, optimalisasi NIK akan semakin intensif di mana Ditjen Pajak sudah sepakat dengan Kemendagri bahwa nantinya NPWP akan dihapus untuk sepenuhnya diganti dengan NIK,” ujar Zudan dalam siaran persnya, Senin (4/10/2021).
Dia menyebutkan, optimalisasi NIK sebagai basis integrasi data juga telah merambah cakupan sektor-sektor lainnya, mulai dari provider jaringan layanan telekomunikasi, asuransi, perbankan, pertanahan, kesehatan, penegakan hukum dan pencegahan kriminal, hingga pembangunan demokrasi. Bahkan, data daftar pencarian orang (DPO) sudah terintegrasi dengan data kependudukan.
“Data DPO juga sudah terintegrasi dengan data kependudukan Dukcapil karena Polri rutin menggunakan hak akses data kependudukan melalui face recognition dan pencocokan biometrik untuk menangkap berbagai pelaku kejahatan seperti terorisme,” kata Zudan.
Dikemukakan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, Kemendagri berperan sebagai integrator data. Pada 2013, Kemendagri telah melakukan kerja sama pemanfaatan hak akses verifikasi data kependudukan dengan 10 lembaga pengguna.
Sejak saat itu, jumlah lembaga pengguna hak akses verifikasi data Dukcapil terus meningkat pesat. Pada 2017, jumlah pengguna hak akses verifikasi data kependudukan Dukcapil meningkat menjadi 716 lembaga.
Hingga September 2021 sudah ada 3.904 lembaga yang menjadi pengguna hak akses verifikasi data kependudukan, baik lembaga pusat maupun daerah. Sejumlah kementerian/lembaga mulai mencocokkan datanya dengan Dukcapil sehingga perencanaan/pembangunan hingga pelayanan publik menjadi lebih tepat sasaran.
“Integrasi data penerima bansos, misalnya, pemerintah melalui Kementerian Sosial melakukan pencocokan DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial) dengan NIK yang diampu Dukcapil. Bila ditemukan ada data yang tidak cocok NIK-nya, maka data tersebut dikeluarkan dari DTKS,” kata Zudan. (ROL/CNN)